Jumat, 22 Mei 2015

cincin pernikahan


Dalam hal nikah, hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang lazim dikenal dengan sebutan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima), yakni:

1. Pernikahan wajib (az-zawaj al-wajib)

Yaitu pernikahan yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir dirinya melakukan perbuatan zina manakala tidak melakukan pernikahan. Keharusan menikah ini didasarkan atas alasan bahwa mempertahankan kehormatan diri dari kemungkinan berbuat zina adalah wajib. Dan satu-satunya sarana untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina itu adalah nikah, maka menikah menjadi wajib bagi orang yang seperti ini.

2. Pernikahan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab)

Yaitu pernikahan yang dianjurkan kepada seseorang yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan melakukan zina. Orang yang memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat (tidak impoten), maka dia tetap dianjurkan supaya menikah meskipun orang yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara kehormatan dirinya dan kemungkinan melakukan pelanggaran seksual, khususnya zina. Sebab, Islam pada dasarnya tidak menyukai pemeluknya yang membujang semur hidup (tabattul). Sebagaimana hadits Nabi SAW :

عَنْ عَبْدِ الله قَا لَ قَالَ لَنَا رَسُو لُ الله صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَا بِ مَنِ اسْتَطَا عَ مِنْكُمُ الْبَا ءَ ةَ فَلْيَتَزَ وَّ جُ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وّاَحْصَنُ لِلْفَرْ جِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِاالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَا ءٌ (اخرجه مسلم في كتا ب النكا ح

Artinya: Dari Abdillah berkata : Rasulullah SAW bersabda kepada kami, “hai para pemuda barang siapa diri kalian mampu untuk menikah maka menikahlah, sesungguhnya nikah itu menundukkan pandangan dan menjaga farji (kehormatan). Dan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu baginya sebagai penahan. (diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Nikah).[2]

3. Pernikahan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh)

Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan biaya hidup meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis meskipun memiliki kemampuan ekonomi, tetapi ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri. Jika kondisi seseorang seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan, maka pernikahan kurang (tidak disukai) karena pernikahan yang dilakukannya besar kemungkinan menimbulkan hal-hal yang kurang disukai oleh salah satu pihak.

4. Pernikahan yang dibolehkan (az-zawaj al-mubah)

Yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada factor-faktor yang mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi. Pernikahan ibahah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat luas, dan oleh kebanyakan ulama’ dinyatakan sebagai hukum dasar atau hukum asal dari nikah.[3]

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan bagi orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan pengahambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[4]

5. Pernikahan yang diharamkan ( larangan keras)


Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi oran tersebut adalah haram. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga. Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikah menjadi haram untuknya.[5]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar